Friday, June 1, 2007
Pendekatan Pembelajaran Matematika SD
Supaya pembelajaran matematika dapat berlangsung dengan baik, perlu digunakan beberapa pendekatan. Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing sehingga setiap pendekatan perlu digunakan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Ada banyak pendekatan dalam pembelajaran, akan tetapi di sini akan dipaparkan tiga pendekatan saja, yakni Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning / CTL), Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning / PBL), dan Pendekatan Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning / CL). Pemilihan ketiga pendekatan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa ketiga pendekatan tersebut lebih relevan digunakan dalam pembelajaran matematika.
1. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning / CTL) merupakan konsep pembelajaran yang mengaitkan bahan pelajaran dengan lingkungan atau situasi nyata siswa sehingga pembelajaran tersebut sungguh-sungguh dapat dipahami oleh siswa.
Menurut Susento (2007), pendekatan pembelajaran konstekstual dilaksanakan oleh guru melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a. Kegiatan Mengkonstruksi Pengetahuan
1) Menciptakan lingkungan, sarana, dan bahan yang memungkinkan siswa sebanyak mungkin belajar sendiri di bawah bimbingan guru.
2) Memberi siswa pengalaman nyata yang melibatkan mereka secara aktif.
b. Kegiatan Penyelidikan (Inquiry)
1) Mendorong siswa untuk menemukan, merumuskan, dan menganalisis (mengolah) masalah.
2) Meberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk menyajikan atau mengkomunikasikan hasil belajar melalui berbagai cara seperti tulisan, gambar, laporan, bagan, dan tabel.
c. Kegiatan Bertanya:
1) Membangkitkan rasa ingin tahu siswa.
2) Membangkitkan minat siswa untuk bertanya mengenai masalah yang dihadapi atau bahan yang dipelajari.
d. Kegiatan Komunitas Belajar (Learning Community)
1) Menciptakan suasana diskusi antarsiswa.
2) Mendorong siswa menggunakan berbagai sumber belajar yang ada di sekitar mereka.
e. Kegiatan Pemodelan
1) Menampilkan lebih dari satu macam model cara menemukan/mengerjakan sesuatu, sehingga dapat memahami, membandingkan, atau menemukan alternatif.
2) Menunjukkan contoh orang atau karya orang.
f. Kegiatan Refleksi
1) Menyediakan waktu agar siswa mempunyai kesempatan untuk refleksi tentang proses atau hasil belajar.
2) Memandu siswa melakukan refleksi melalui pertanyaan-pertanyaan bantuan.
g. Kegiatan Penilaian Otentik
1) Menilai kinerja (unjuk kerja/performance) siswa.
2) Mengobservasi (mengamati) pengaruh kegiatan pembelajaran yang sedang/telah dilaksanakan terhadap perilaku dan sikap siswa.
3) Menilai portofolio siswa. Portofolio adalah kumpulan karya siswa selama jangka waktu tertentu, yang menggambarkan keterampilan, gagasan, minat, dan prestasi siswa, yang wujudnya berupa tulisan, gambar, benda, atau model fisik.
4) Mencermati jurnal siswa. Jurnal adalah ungkapan hasil refleksi pribadi siswa mengenai proses dan hasil belajarnya, yang dituangkan dalam bentuk tulisan, gambar, atau bentuk lainnya.
Contoh pembelajaran kontekstual:
Di kelas III semester 2 guru hendak mengajarkan cara menghitung luas persegi dan persegi panjang. Dalam hal ini, guru jangan langsung mengemukakan rumus luas persegi. Guru sebaiknya mengenalkan contoh-contoh persegi dan persegi panjang, seperti ubin, buku, pintu, dan lain-lain. Siswa diminta menyebutkan contoh-contoh lain yang langsung terdapat di dalam kelas yang bisa disentuh atau dilihat. Setelah itu, guru menunjukkan alat peraga yang mempresentasikan persegi dan persegi panjang. Tahap selanjutnya adalah mengenalkan defenisi persegi dan persegi panjang. Setelah siswa mengenal persegi dan persegi panjang, siswa diajak menghitung luas persegi dengan bantuan alat peraga. Contoh:
1. Gambar apakah di samping ini? Apakah itu gambar persegi atau persegi panjang? Mengapa?
2. Berapa satuan luasnya?
Dengan kegiatan seperti ini, siswa akan mampu membedakan persegi dan persegi panjang. Setelah menghitung luas bangun-bangun yang sama secara berulang-ulang, siswa akan mengetahui sendiri bahwa ternyata luas bangun persegi panjang adalah p x l tanpa diberitahu oleh guru.
Pembelajaran kontekstual sangat cocok diterapkan karena siswa akan lebih mudah memahami sesuatu bila dia melihat secara langsung obyek yang dipelajari. Hal ini sejalan dengan tahap perkembangan anak.
2. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning / PBL) merupakan konsep pembelajaran yang proses belajarnya dimulai dengan menyajikan masalah yang sesuai dengan situasi / perkembangan cara berfikir siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih nyata dan berkesan. Perlunya penerapan pendekatan pembelajaran ini dilatarbelakangi oleh realita bahwa seseorang umumnya berpikir dalam konteks memecahkan masalah. Masalah itu sendiri adalah kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang ada. Seseorang juga akan lebih berminat mengerjakan sesuatu kalau situasi sesuatu itu tidak seperti yang diharapknnya atau berada dalam lingkup masalah yang dihadapinya.
Susento (2007), dalam hand-out mata kuliah Pendidikan Matematika SD II, mengemukakan lima langkah yang seharusnya dilakukan guru dalam proses pembelajaran berbasis masalah.
a. Persiapan
Menyusun masalah yang akan dijadikan titik pangkal (starting point) pembelajaran. Masalah yang dipilih adalah masalah yang relevan dengan tingkat intelektual siswa. Masalah tersebut juga terkait atau mengarah kepada pada bahan pelajaran.
b. Orientasi
1) Menyajikan masalah di kelas.
2) Membangkitkan ketertarikan atau rasa ingin tahu siswa kepada masalah.
3) Memberi kesempatan kepada siswa
c. Eksplorasi
Memberi kesempatan kepada siswa untuk memecahkan masalah dengan strategi yang diciptakan oleh siswa sendiri. Masalah boleh dipecahkan secara individual atau kelompok. Guru berperan sebagai motivator dan pemberi bantuan atau saran sejauh diperlulan. Guru juga berperan sebagai pendengar yang penuh perhatian.
d. Negoisasi
Mendorong para siswa untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan proses dan hasil pemecahan masalah, sehingga diperoleh gagasan-gagasan atau tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh seluruh siswa.
e. Integrasi
1) Memandu siswa untuk merefleksikan proses pemecahan masalah.
2) Mengidentifikasi dan merumuskan hasil-hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan pemecahan masalah.
3) Mengaitkan hasil-hasil belajar itu dengan pengetahuan sebelumnya, sehingga tersusun jaringan/organisasi pengetahuan yang baru.
Contoh pembelajaran berbasis masalah:
Di kelas II semester 2 guru hendak mengajarkan pembagian bilangan dua angka. Dalam hal ini, guru jangan mengajarkan konsep pembagian dengan cara konvensional. Cara yang lazim digunakan guru-guru pada zaman dulu hingga sekarang ini adalah sebagai berikut:
15 : 3 = ….?
15 : 3 = 15 – 3 – 3 – 3 – 3 – 3
(Guru memberi contoh dengan cara mengurangkan bilangan 15 dengan bilangan 3 berturut-turut hingga bilangan 15 habis atau bernilai nol. Dari contoh di atas diketahui bahwa bilangan 15 dapat habis dikurangi dengan bilangan 3 sampai lima kali).
Jadi, 15 : 3 = 5.
Memang cara di atas mudah dan praktis. Tapi perlu diingat bahwa cara seperti adalah abstrak dan mungkin akan mudah dipahami oleh siswa yang memiliki tingkat intelegensi (IQ) tinggi saja. Cara tersebut juga tidak akan berbekas di ingatan jangka panjang siswa. Hal ini terbukti, ketika siswa kelak disodorkan dengan soal yang lebih rumit, misalnya 60 : 3 = …, maka dapat dipastikan banyak siswa tidak akan mampu atau merasa kesulitan untuk menemukan jawabannya.
Ada baiknya guru berusaha untuk menggunakan pendekatan berbasis masalah, caranya dengan memberikan masalah terlebih dahulu sebelum guru menjelaskan konsep pembagian dua angka. Masalah yang diberikan guru adalah masalah yang benar-benar dikenal siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengajarkan konsep pembagian 15: 3 = …, guru menyajikan pertanyaan sederhana dengan bantuan alat peraga. Misalnya, guru menunjukkan 15 buah pensil dan meminta 3 orang siswa maju ke depan kelas. Setelah itu, guru berkata: “Anak-anak, tolong bantu Bapak untuk membagi 15 pensil ini kepada setiap anak yang di depan kelas. Setiap anak mendapat jumlah pensil yang sama banyaknya. Berapa buah pensil yang akan diterima masing-masing anak?”
Biarkan anak-anak berpikir sendiri dalam menemukan jawabannya. Mungkin ada anak mencoba memberikan pensil kepada ketiga anak satu persatu. Misalkan saja ketiga anak itu adalah Siska, Tina, dan Rina. Budi mencoba memberikan pensil itu satu per satu kepada Siska, Tina, dan Rina. Dia melakukan kegiatan yang sama hingga semua pensil habis. Dari kegiatan itu, dia menemukan bahwa pensil itu habis terbagi ketika setelah dia lima kali berulang-ulang membagikan pensil. Mungkin juga ada anak yang memberikan 5 buah pensil sekaligus kepada setiap anak, dan mungkin saja ada cara lain yang ditemukan anak.
Dari cara-cara yang ditemukan anak, guru bertanya: “Anak-anak, cara siapa yang paling mudah? Mengapa cara si Anu lebih mudah? Berapa jawaban pembagian 15 : 3?” Kemudian guru mengajak siswa menemukan jawaban atas pertanyaan lain. Kegiatan serupa perlu dilakukan secara berulang-ulang. “Dengan berlatih, anak yang telah siap belajar akan menunjukkan kemajuan – walaupun berangsur-angsur” (Hurlock, 1978: 31). Dari kegiatan ini, siswa akan mengetahui dan memahami konsep pembagian yang “sesungguhnya” tanpa perlu diljelaskan dengan cara konvensional dan contoh-contoh yang abstrak.
3. Pendekatan Pembelajaran Kooperatif
Pendekatan pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang memanfaatkan kerjasama kelompok untuk menyelesaikan masalah. Selama ini, guru secara tidak sadar telah “merusak” kepekaan hati atau empati para siswa. Guru sering “melarang” seorang siswa bertanya kepada siswa lain pada saat proses pembelajaran berlangsung dengan dalih tidak boleh menjiplak atau mencontoh jawaban teman. Akibatnya, sikap egois semakin berakar dalam hati setiap siswa.
Perlu juga diingat bahwa bentuk kerjasama itu tidak hanya diskusi, masih ada bentuk kerjasama lain seperti presentasi kelompok, kerja kelompok, penugasan kelompok, dan lain-lain. Semua bentuk kerjasama ini bisa digunakan sesuai kebutuhan dan situasi.
Beberapa pertimbangan pemilihan pendekatan ini adalah sebagai berikut.
a. Setiap siswa adalah individu yang unik, artinya berbeda satu sama lain, baik dalam latar belakang kehidupan, prestasi, cara berfikir, dan cita-cita. Situasi ini sangat mendukung pembelajaran karena belajar selalu membutuhkan variasi konteks.
b. Dengan belajar dalam kelompok, setiap orang akan saling melengkapi. Misalnya, siswa A tidak berani mengutarakan gagasannya secara lisan, mungkin akan dibantu oleh siswa B yang berani berbicara di depan kelas. Misalnya lagi, siswa C tidak pandai berhitung, akan dibantu oleh siswa siswa D yang cerdas.
c. Dalam pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan berusaha mengembangkan kecerdasan interpersonalnya (kemampuan bergaul dan bekerjasama, memiliki kepekaaan perasaan atau empati, dan lain sebagainya).
Susento (2007), dalam hand-out matakuliah Pendidikan Matematika SD II, mengemukakan lima tehnik pendekatan pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut.
a. Tehnik Sebaran Prestasi
Siswa dalam kelompok yang terdiri atas empat atau lima siswa mengerjakan soal latihan di lembar kerja. Anggota kelompok adalah siswa yang memiliki prestasi yang berbeda-beda, misalnya satu orang yang berkemampuan tinggi, satu orang yang berkemampuan sedang, dan yang lainnya yang berkemampuan rendah. Setelah semua kelompok selesai bekerja, guru memberi kunci jawaban soal dan meminta siswa memeriksa hasil pekerjaan kelompoknya sendiri. Setelah itu, guru memberikan ulangan.
b. Tehnik Susun Gabung
Dalam kelompok, tiap-tiap siswa mempelajari satu bagian materi pelajaran. Setelah semua selesai mempelajari materi yang diterimanya, kemudian masing-masing siswa menjelaskan kembali kepada siswa lain dalam kelompoknya. Setelah selesai, guru memberikan ulangan sesuai materi yang dipelajari siswa.
c. Tehnik Penyelidikan Berkelompok
Tiap-tiap kelompok mempelajari satu bagian materi pelajaran dan kemudian menjelaskan bagian itu kepada semua siswa di kelas.
d. Tehnik Cari Pasangan
Tiap siswa di kelas memperoleh satu lembar kartu. Tiap kartu berisi satu bagian materi pelajaran. Tiap-tiap siswa harus mencari siswa lain yang memiliki kartu yang berkaitan dengan isi kartunya. Para siswa yang isi kartunya berkaitan berkelompok dan mendiskusikan keseluruhan materi.
e. Tehnik Tukar Pasangan
Siswa berkelompok mengerjakan soal latihan dalam lembar kerja. Kemudian berganti kelompok dan mendiskusikan hasil kerja dari kelompok semula.
1. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pendekatan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning / CTL) merupakan konsep pembelajaran yang mengaitkan bahan pelajaran dengan lingkungan atau situasi nyata siswa sehingga pembelajaran tersebut sungguh-sungguh dapat dipahami oleh siswa.
Menurut Susento (2007), pendekatan pembelajaran konstekstual dilaksanakan oleh guru melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a. Kegiatan Mengkonstruksi Pengetahuan
1) Menciptakan lingkungan, sarana, dan bahan yang memungkinkan siswa sebanyak mungkin belajar sendiri di bawah bimbingan guru.
2) Memberi siswa pengalaman nyata yang melibatkan mereka secara aktif.
b. Kegiatan Penyelidikan (Inquiry)
1) Mendorong siswa untuk menemukan, merumuskan, dan menganalisis (mengolah) masalah.
2) Meberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk menyajikan atau mengkomunikasikan hasil belajar melalui berbagai cara seperti tulisan, gambar, laporan, bagan, dan tabel.
c. Kegiatan Bertanya:
1) Membangkitkan rasa ingin tahu siswa.
2) Membangkitkan minat siswa untuk bertanya mengenai masalah yang dihadapi atau bahan yang dipelajari.
d. Kegiatan Komunitas Belajar (Learning Community)
1) Menciptakan suasana diskusi antarsiswa.
2) Mendorong siswa menggunakan berbagai sumber belajar yang ada di sekitar mereka.
e. Kegiatan Pemodelan
1) Menampilkan lebih dari satu macam model cara menemukan/mengerjakan sesuatu, sehingga dapat memahami, membandingkan, atau menemukan alternatif.
2) Menunjukkan contoh orang atau karya orang.
f. Kegiatan Refleksi
1) Menyediakan waktu agar siswa mempunyai kesempatan untuk refleksi tentang proses atau hasil belajar.
2) Memandu siswa melakukan refleksi melalui pertanyaan-pertanyaan bantuan.
g. Kegiatan Penilaian Otentik
1) Menilai kinerja (unjuk kerja/performance) siswa.
2) Mengobservasi (mengamati) pengaruh kegiatan pembelajaran yang sedang/telah dilaksanakan terhadap perilaku dan sikap siswa.
3) Menilai portofolio siswa. Portofolio adalah kumpulan karya siswa selama jangka waktu tertentu, yang menggambarkan keterampilan, gagasan, minat, dan prestasi siswa, yang wujudnya berupa tulisan, gambar, benda, atau model fisik.
4) Mencermati jurnal siswa. Jurnal adalah ungkapan hasil refleksi pribadi siswa mengenai proses dan hasil belajarnya, yang dituangkan dalam bentuk tulisan, gambar, atau bentuk lainnya.
Contoh pembelajaran kontekstual:
Di kelas III semester 2 guru hendak mengajarkan cara menghitung luas persegi dan persegi panjang. Dalam hal ini, guru jangan langsung mengemukakan rumus luas persegi. Guru sebaiknya mengenalkan contoh-contoh persegi dan persegi panjang, seperti ubin, buku, pintu, dan lain-lain. Siswa diminta menyebutkan contoh-contoh lain yang langsung terdapat di dalam kelas yang bisa disentuh atau dilihat. Setelah itu, guru menunjukkan alat peraga yang mempresentasikan persegi dan persegi panjang. Tahap selanjutnya adalah mengenalkan defenisi persegi dan persegi panjang. Setelah siswa mengenal persegi dan persegi panjang, siswa diajak menghitung luas persegi dengan bantuan alat peraga. Contoh:
1. Gambar apakah di samping ini? Apakah itu gambar persegi atau persegi panjang? Mengapa?
2. Berapa satuan luasnya?
Dengan kegiatan seperti ini, siswa akan mampu membedakan persegi dan persegi panjang. Setelah menghitung luas bangun-bangun yang sama secara berulang-ulang, siswa akan mengetahui sendiri bahwa ternyata luas bangun persegi panjang adalah p x l tanpa diberitahu oleh guru.
Pembelajaran kontekstual sangat cocok diterapkan karena siswa akan lebih mudah memahami sesuatu bila dia melihat secara langsung obyek yang dipelajari. Hal ini sejalan dengan tahap perkembangan anak.
2. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning / PBL) merupakan konsep pembelajaran yang proses belajarnya dimulai dengan menyajikan masalah yang sesuai dengan situasi / perkembangan cara berfikir siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih nyata dan berkesan. Perlunya penerapan pendekatan pembelajaran ini dilatarbelakangi oleh realita bahwa seseorang umumnya berpikir dalam konteks memecahkan masalah. Masalah itu sendiri adalah kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang ada. Seseorang juga akan lebih berminat mengerjakan sesuatu kalau situasi sesuatu itu tidak seperti yang diharapknnya atau berada dalam lingkup masalah yang dihadapinya.
Susento (2007), dalam hand-out mata kuliah Pendidikan Matematika SD II, mengemukakan lima langkah yang seharusnya dilakukan guru dalam proses pembelajaran berbasis masalah.
a. Persiapan
Menyusun masalah yang akan dijadikan titik pangkal (starting point) pembelajaran. Masalah yang dipilih adalah masalah yang relevan dengan tingkat intelektual siswa. Masalah tersebut juga terkait atau mengarah kepada pada bahan pelajaran.
b. Orientasi
1) Menyajikan masalah di kelas.
2) Membangkitkan ketertarikan atau rasa ingin tahu siswa kepada masalah.
3) Memberi kesempatan kepada siswa
c. Eksplorasi
Memberi kesempatan kepada siswa untuk memecahkan masalah dengan strategi yang diciptakan oleh siswa sendiri. Masalah boleh dipecahkan secara individual atau kelompok. Guru berperan sebagai motivator dan pemberi bantuan atau saran sejauh diperlulan. Guru juga berperan sebagai pendengar yang penuh perhatian.
d. Negoisasi
Mendorong para siswa untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan proses dan hasil pemecahan masalah, sehingga diperoleh gagasan-gagasan atau tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh seluruh siswa.
e. Integrasi
1) Memandu siswa untuk merefleksikan proses pemecahan masalah.
2) Mengidentifikasi dan merumuskan hasil-hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan pemecahan masalah.
3) Mengaitkan hasil-hasil belajar itu dengan pengetahuan sebelumnya, sehingga tersusun jaringan/organisasi pengetahuan yang baru.
Contoh pembelajaran berbasis masalah:
Di kelas II semester 2 guru hendak mengajarkan pembagian bilangan dua angka. Dalam hal ini, guru jangan mengajarkan konsep pembagian dengan cara konvensional. Cara yang lazim digunakan guru-guru pada zaman dulu hingga sekarang ini adalah sebagai berikut:
15 : 3 = ….?
15 : 3 = 15 – 3 – 3 – 3 – 3 – 3
(Guru memberi contoh dengan cara mengurangkan bilangan 15 dengan bilangan 3 berturut-turut hingga bilangan 15 habis atau bernilai nol. Dari contoh di atas diketahui bahwa bilangan 15 dapat habis dikurangi dengan bilangan 3 sampai lima kali).
Jadi, 15 : 3 = 5.
Memang cara di atas mudah dan praktis. Tapi perlu diingat bahwa cara seperti adalah abstrak dan mungkin akan mudah dipahami oleh siswa yang memiliki tingkat intelegensi (IQ) tinggi saja. Cara tersebut juga tidak akan berbekas di ingatan jangka panjang siswa. Hal ini terbukti, ketika siswa kelak disodorkan dengan soal yang lebih rumit, misalnya 60 : 3 = …, maka dapat dipastikan banyak siswa tidak akan mampu atau merasa kesulitan untuk menemukan jawabannya.
Ada baiknya guru berusaha untuk menggunakan pendekatan berbasis masalah, caranya dengan memberikan masalah terlebih dahulu sebelum guru menjelaskan konsep pembagian dua angka. Masalah yang diberikan guru adalah masalah yang benar-benar dikenal siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengajarkan konsep pembagian 15: 3 = …, guru menyajikan pertanyaan sederhana dengan bantuan alat peraga. Misalnya, guru menunjukkan 15 buah pensil dan meminta 3 orang siswa maju ke depan kelas. Setelah itu, guru berkata: “Anak-anak, tolong bantu Bapak untuk membagi 15 pensil ini kepada setiap anak yang di depan kelas. Setiap anak mendapat jumlah pensil yang sama banyaknya. Berapa buah pensil yang akan diterima masing-masing anak?”
Biarkan anak-anak berpikir sendiri dalam menemukan jawabannya. Mungkin ada anak mencoba memberikan pensil kepada ketiga anak satu persatu. Misalkan saja ketiga anak itu adalah Siska, Tina, dan Rina. Budi mencoba memberikan pensil itu satu per satu kepada Siska, Tina, dan Rina. Dia melakukan kegiatan yang sama hingga semua pensil habis. Dari kegiatan itu, dia menemukan bahwa pensil itu habis terbagi ketika setelah dia lima kali berulang-ulang membagikan pensil. Mungkin juga ada anak yang memberikan 5 buah pensil sekaligus kepada setiap anak, dan mungkin saja ada cara lain yang ditemukan anak.
Dari cara-cara yang ditemukan anak, guru bertanya: “Anak-anak, cara siapa yang paling mudah? Mengapa cara si Anu lebih mudah? Berapa jawaban pembagian 15 : 3?” Kemudian guru mengajak siswa menemukan jawaban atas pertanyaan lain. Kegiatan serupa perlu dilakukan secara berulang-ulang. “Dengan berlatih, anak yang telah siap belajar akan menunjukkan kemajuan – walaupun berangsur-angsur” (Hurlock, 1978: 31). Dari kegiatan ini, siswa akan mengetahui dan memahami konsep pembagian yang “sesungguhnya” tanpa perlu diljelaskan dengan cara konvensional dan contoh-contoh yang abstrak.
3. Pendekatan Pembelajaran Kooperatif
Pendekatan pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang memanfaatkan kerjasama kelompok untuk menyelesaikan masalah. Selama ini, guru secara tidak sadar telah “merusak” kepekaan hati atau empati para siswa. Guru sering “melarang” seorang siswa bertanya kepada siswa lain pada saat proses pembelajaran berlangsung dengan dalih tidak boleh menjiplak atau mencontoh jawaban teman. Akibatnya, sikap egois semakin berakar dalam hati setiap siswa.
Perlu juga diingat bahwa bentuk kerjasama itu tidak hanya diskusi, masih ada bentuk kerjasama lain seperti presentasi kelompok, kerja kelompok, penugasan kelompok, dan lain-lain. Semua bentuk kerjasama ini bisa digunakan sesuai kebutuhan dan situasi.
Beberapa pertimbangan pemilihan pendekatan ini adalah sebagai berikut.
a. Setiap siswa adalah individu yang unik, artinya berbeda satu sama lain, baik dalam latar belakang kehidupan, prestasi, cara berfikir, dan cita-cita. Situasi ini sangat mendukung pembelajaran karena belajar selalu membutuhkan variasi konteks.
b. Dengan belajar dalam kelompok, setiap orang akan saling melengkapi. Misalnya, siswa A tidak berani mengutarakan gagasannya secara lisan, mungkin akan dibantu oleh siswa B yang berani berbicara di depan kelas. Misalnya lagi, siswa C tidak pandai berhitung, akan dibantu oleh siswa siswa D yang cerdas.
c. Dalam pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan berusaha mengembangkan kecerdasan interpersonalnya (kemampuan bergaul dan bekerjasama, memiliki kepekaaan perasaan atau empati, dan lain sebagainya).
Susento (2007), dalam hand-out matakuliah Pendidikan Matematika SD II, mengemukakan lima tehnik pendekatan pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut.
a. Tehnik Sebaran Prestasi
Siswa dalam kelompok yang terdiri atas empat atau lima siswa mengerjakan soal latihan di lembar kerja. Anggota kelompok adalah siswa yang memiliki prestasi yang berbeda-beda, misalnya satu orang yang berkemampuan tinggi, satu orang yang berkemampuan sedang, dan yang lainnya yang berkemampuan rendah. Setelah semua kelompok selesai bekerja, guru memberi kunci jawaban soal dan meminta siswa memeriksa hasil pekerjaan kelompoknya sendiri. Setelah itu, guru memberikan ulangan.
b. Tehnik Susun Gabung
Dalam kelompok, tiap-tiap siswa mempelajari satu bagian materi pelajaran. Setelah semua selesai mempelajari materi yang diterimanya, kemudian masing-masing siswa menjelaskan kembali kepada siswa lain dalam kelompoknya. Setelah selesai, guru memberikan ulangan sesuai materi yang dipelajari siswa.
c. Tehnik Penyelidikan Berkelompok
Tiap-tiap kelompok mempelajari satu bagian materi pelajaran dan kemudian menjelaskan bagian itu kepada semua siswa di kelas.
d. Tehnik Cari Pasangan
Tiap siswa di kelas memperoleh satu lembar kartu. Tiap kartu berisi satu bagian materi pelajaran. Tiap-tiap siswa harus mencari siswa lain yang memiliki kartu yang berkaitan dengan isi kartunya. Para siswa yang isi kartunya berkaitan berkelompok dan mendiskusikan keseluruhan materi.
e. Tehnik Tukar Pasangan
Siswa berkelompok mengerjakan soal latihan dalam lembar kerja. Kemudian berganti kelompok dan mendiskusikan hasil kerja dari kelompok semula.
Subscribe to:
Posts (Atom)